COVID-19 yang melanda seluruh dunia memberikan pelajaran bahwa pendekatan terhadap penyakit itu tergantung pada jenis penyakitnya. Kalau sindrom yang menjangkiti sangat personal, pendekatannya secara kasuistis. Namun kala penyakit melanda secara merata dengan karakter sama yang kita sebut sebagai pandemi, pendekatannya pun harus secara sistematis, tidak saja menyangkut aspek kesehatan, tetapi juga kebijakan sosial dan hukum yang komprehensif.
Berdasarkan data pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dari 2004 hingga 2020, jumlah pejabat daerah yang dihukum mencapai ratusan, terdiri atas anggota DPRD 274, gubernur 21, wali kota/bupati dan wakil 122. Area dan modus korupsinya relatif sama, berkisar pada pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan sumber daya manusia. Modus tersebut hampir merata di semua daerah. Dengan merujuk pada Covid-19, mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menganggap korupsi sebagai pandemi.
Pendekatan kasuistis, menangkap secara heroik penyelenggara negara mulai dari menteri sampai kepala daerah dan menghukumnya dengan pidana setinggi-tingginya. Justifikasinya “supaya pelakunya jera” dan mencegah penyelenggara negara lain melakukan hal serupa. Justifikasi ini hampir tidak terealisasi. Banyaknya koruptor yang tertangkap tangan terbukti tidak mencegah korupsi selanjutnya.
Secara alami setiap pasangan yang menang menjadi kepala daerah akan berpikir untuk mengembalikan modal biaya politik, apalagi yang 82% sudah tergadai pada sponsor. Adapun gaji, tunjangan, dan insentif bupati yang jumlahnya sekitar Rp30 juta–50 juta, sampai lima tahun menjabat pun, totalnya tak lebih dari Rp3 miliar. Artinya biaya politik tersebut tidak akan kembali selama menjabat kalau tidak ada sumber penerimaan lain.
Dalam proses demokrasi yang seperti ini, pilkada menjadi faktor kuat pemicu terjadinya pandemi korupsi. Proses penindakan hanyalah melahirkan proses kucing-kucingan karena bagaimanapun korupsi tetap dibutuhkan oleh pasangan calon pemenang untuk mengembalikan modal. Dalam kondisi pilkada menjadi ajang jual beli kewenangan, pendekatan kasuistis hanya peralihan modus dari yang satu ke lainnya, sementara calon koruptor terus berinovasi mencari modus baru yang dianggap aman.
Indonesia Berita Terbaru, Indonesia Berita utama
Similar News:Anda juga dapat membaca berita serupa dengan ini yang kami kumpulkan dari sumber berita lain.
Sumber: voaindonesia - 🏆 15. / 63 Baca lebih lajut »
Sumber: tribunnews - 🏆 37. / 51 Baca lebih lajut »
Sumber: republikaonline - 🏆 16. / 63 Baca lebih lajut »
Sumber: Beritasatu - 🏆 26. / 59 Baca lebih lajut »
Sumber: kompascom - 🏆 9. / 68 Baca lebih lajut »
Sumber: republikaonline - 🏆 16. / 63 Baca lebih lajut »