Meski tak pintar sungguh, sekolah saya boleh dikata berjalan lancar. Sewaktu SD, walau sering kali telat masuk kelas karena diajak angon bebek oleh Bapak di lokasi yang jauh, saya tetap naik kelas. Bahkan dengan nilai pas-pasan, saya bisa lulus testing masuk ke SMPN 1 Negara, sekolah favorit waktu itu. Semuanya saya lalui seorang diri, tanpa bantuan orangtua, yang sibuk mencari penghidupan.
Beberapa hari setelah itu, saya dinyatakan lulus. Sementara Komang Tri, panggilan teman itu, tidak. Belakangan ia bersekolah di SMP Nasional Negara, yang jaraknya sekitar 6 kilometer dari desa kami. Lancar, kan, berarti? ”Jatah lulus anak saya diambil oleh pejabat dan pengusaha. Pejabat punya kuasa, pengusaha punya dana. Nasib orang kecil…,” katanya bersungut-sungut.Sejumlah wali murid hendak melaporkan kendala pendaftaran peserta didik baru ke posko layanan PPDB di Kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa .
Toh begitu, sistem ini pun menerima banyak ”gangguan”. Sistem jatah pejabat, seperti para anggota DPRD, ASN, dan ormas, di daerah-daerah seperti tak bisa dihapus. Mereka menikmati privilese untuk memasukkan anak-anaknya, keponakan, atau bahkan anak orang lain, ke sekolah-sekolah incaran.. Dalam sistem ini, pemerintah memperkenalkan penerimaan siswa berdasarkan zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan orangtua. Selama 7 tahun pelaksanaannya, PPDB tak pernah sepi dari karut-marut.
“Pembiaran” banyak orang tua itu, bisa bermatra ganda memang. Pertama, banyak orang tua yang belum mengerti pentingnya meraih pendidikan tinggi. Ini berkaitan dengan literasi keterdidikan yang masih rendah saat itu. Meski sempat sekolah, sehari-hari Bapak hanya petani dan pemelihara bebek. Ia pasrah antara anaknya sekolah atau tidak, tidak akan mengubah secara signifikan pada kehidupan kami.
Di situ, Ibu yang selalu mewanti-wanti agar saya tetap sekolah. Katanya, kamu boleh terlambat, karena pelajaran bisa dikejar. Tetapi jika putus sekolah, bukan hanya kesempatan belajar yang hilang, tetapi hidupmu kelak yang dipertaruhkan. Ia benar. Setelah saya tamat berkuliah di Denpasar, kesempatan melakoni hidup dengan cara berbeda, tetapi tidak kalah produktif dibanding bertani, seolah terbuka lebar. Sepupu-sepupuku yang putus sekolah, hari ini hidupnya tanpa kejelasan.
Indonesia Berita Terbaru, Indonesia Berita utama
Similar News:Anda juga dapat membaca berita serupa dengan ini yang kami kumpulkan dari sumber berita lain.
Sumber: hariankompas - 🏆 8. / 70 Baca lebih lajut »
Sumber: detiksport - 🏆 24. / 59 Baca lebih lajut »
Sumber: suaradotcom - 🏆 28. / 53 Baca lebih lajut »
Sumber: tvOneNews - 🏆 1. / 99 Baca lebih lajut »
Sumber: cnbcindonesia - 🏆 7. / 74 Baca lebih lajut »
Sumber: hariankompas - 🏆 8. / 70 Baca lebih lajut »