di Tanah Air. Dibalik kinerjanya yang senantiasa gemilang, sebenarnya ada beberapa hal yang layak untuk diperhatikan terutama sebagai investor, mulai dari produktivitas yang buruk, hingga ketergantungan pendapatan non bunga dari fee-based income.
Sekilas, pertumbuhan DPK tampak lebih rendah dari penyaluran kredit. Kondisi tersebut mengembalikan tren yang terjadi sejak Covid-19 ketika kredit terkontraksi tetapi DPK yang berhasil dihimpun tumbuh dobel digit yang membuat likuiditas bank menjadi melimpah. Bahkan dengan pertumbuhan kredit yang mencapai dobel digit tahun lalu, likuiditas BBCA jauh sangat melimpah. Bagi bank likuiditas yang kering tentu akan membahayakan. Namun terlalu banyaknya likuiditas juga menimbulkan masalah karena menjadi kurang produktif karena likuiditas yang tersedia kurang dioptimalkan.
Jika saja BBCA mau lebih agresif dalam menggenjot kredit, dengan bunga per tahun mencapai 10% saja, maka akan ada tambahan sekitar Rp 5 triliun pendapatan bunga belum dikurangi biaya pencadangan untuk mengantisipasi sebagian dari munculnya kredit macet. Hingga Desember 2022, rasio dana murah yang dikenal dengan CASA BBCA tembus di atas 80%, yang membuat biaya atas dana atau Cost of Fund BBCA juga tergolong manageable. Dengan rasio dana murah yang tinggi dan mendominasi funding serta, segmen kredit yang low risk sebenarnya memberikan ruang untuk BBCA sedikit lebih agresif.
Indonesia Berita Terbaru, Indonesia Berita utama
Similar News:Anda juga dapat membaca berita serupa dengan ini yang kami kumpulkan dari sumber berita lain.
Sumber: Bisniscom - 🏆 23. / 59 Baca lebih lajut »
Sumber: merdekadotcom - 🏆 36. / 51 Baca lebih lajut »
Sumber: republikaonline - 🏆 16. / 63 Baca lebih lajut »
Sumber: SINDOnews - 🏆 40. / 51 Baca lebih lajut »
Sumber: Bisniscom - 🏆 23. / 59 Baca lebih lajut »
Sumber: Bisniscom - 🏆 23. / 59 Baca lebih lajut »