WHO Siapkan Program Pengadaan Obat Murah Antivirus Covid-19
WHO menyiapkan program pengadaan obat murah bagi pasien Covid-19 serta akses yang lebih adil bagi negara-negara miskin terhadap vaksin, tes, dan perawatan lainnya untuk para pasien Covid-19.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·6 menit baca
BRUSSELS, KAMIS — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sedang menyiapkan program bagi negara-negara miskin agar mereka mendapatkan akses yang adil terhadap vaksin, tes atau pengujian, dan perawatan bagi pasien Covid-19. Dalam program itu, obat antivirus Covid-19 bagi pasien dengan gejala ringan ditetapkan dengan harga 10 dollar AS (sekitar Rp 140.000) per siklus pengobatan.
Salah satu obat antivirus dimaksud ialah pil molnupiravir yang tengah dikembangkan dan diproduksi perusahaan farmasi, Merck & Co. Pil ini kemungkinan akan digunakan menjadi salah satu obat bagi pasien Covid-19 bergejala ringan atau lainnya dengan gejala serupa. Harga 10 dollar AS per siklus pengobatan, yang ditetapkan dalam program tersebut, sangat jauh lebih murah dibandingkan dengan harga 700 dollar AS (Rp 9,8 juta) per siklus pengobatan, yang disetujui AS untuk 1,7 juta siklus pengobatan.
Informasi itu diperoleh berdasarkan draf dokumen WHO yang didapat kantor berita Reuters dan dilansir, Selasa (19/10/2021). Dokumen tersebut menguraikan tujuan dari program Access to Covid-19 Tools Accelerator (ACT-A) bagi negara-negara miskin.
Lewat program itu, WHO diharapkan dapat mengirimkan sekitar 1 miliar peralatan tes atau pengujian Covid-19 ke negara-negara miskin. Diharapkan, WHO juga bisa mengadakan obat-obatan untuk 120 juta pasien di seluruh dunia. Jumlah pasien itu merupakan sebagian dari sekitar 200 juta kasus baru yang mungkin muncul dalam 12 bulan ke depan.
Program yang tertuang dalam dokumen tersebut mengungkap langkah WHO mendukung suplai obat-obatan dan peralatan tes dengan harga yang relatif rendah. Perlombaan merebut vaksin oleh negara-negara kaya yang kini menguasai sebagian besar pasokan vaksin Covid-19 di seluruh dunia telah membuat negara-negara miskin di dunia tertinggal. Warga di negara-negara miskin saat ini baru menerima sedikit suntikan atau dosis vaksin.
Ada preseden untuk harga murah untuk obat-obatan kritis yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara berpenghasilan rendah selama pandemi. AstraZeneca berjanji untuk menjual vaksin Covid-19 dengan sekitar 4 dollar AS (sekitar Rp 56.500) per dosis selama pandemi. Pfizer menjual dengan harga 7 dollar AS (sekitar Rp 98.000) per dosis kepada Pemerintah AS. Washington membantu 1 miliar dosis untuk didonasikan ke negara-negara lain melalui skema Covax.
Seorang juru bicara ACT-A mengatakan, dokumen WHO tertanggal 13 Oktober itu saat ini masih dalam tahap konsultasi. Dia menolak untuk mengomentari isi dokumen sebelum finalisasi. Dokumen tersebut juga akan dikirimkan kepada para pemimpin dunia menjelang KTT G-20 di Roma, Italia, pada akhir bulan ini.
ACT-A meminta G-20 dan donor lain untuk menganggarkan dana tambahan 22,8 miliar dollar AS hingga September 2022. Dana itu untuk membeli dan mendistribusikan vaksin, obat-obatan, dan peralatan tes Covid-19 ke negara-negara miskin. Juga untuk mempersempit kesenjangan pasokan yang sangat lebar antara negara kaya dan negara yang kurang maju. Para donor hingga kini telah menjanjikan 18,5 miliar untuk program ACT-A WHO itu.
Permintaan dana tersebut didasarkan pada perkiraan rinci tentang harga obat-obatan, perawatan, dan pengujian atau tes. Dana yang dimintakan itu juga akan dipakai dengan memperhitungkan pengeluaran terbesar program ACT-A selain biaya distribusi vaksin.
Sekalipun tidak secara eksplisit menyebutkan pil molnupiravir, dokumen ACT-A berharap hanya membayar 10 dollar AS per siklus pengobatan (course) untuk ”antivirus oral baru bagi pasien dengan gejala ringan hingga sedang”. Pil lain yang digunakan untuk mengobati pasien bergejala ringan sedang dikembangkan.
Pil molnupiravir merupakan satu-satunya obat yang sejauh ini menunjukkan hasil positif dalam uji coba tahap akhir. Pelaksana program ACT-A sedang dalam pembicaraan dengan Merck & Co dan produsen obat generik untuk membeli obat tersebut. Harga 10 dollar AS per siklus pengobatan itu sangat rendah jika dibandingkan dengan 700 dollar AS (Rp 9,8 juta) per siklus pengobatan, yang disetujui dibayar AS untuk 1,7 juta siklus pengobatan.
Merck menyatakan berkomitmen menyediakan akses secara tepat waktu terhadap obatnya secara global dengan rencana penetapan harga berjenjang sesuai kemampuan bayar suatu negara. Merck sat ini menjalin kesepakatan pemberian lisensi bagi delapan perusahaan pembuat obat generik India.
Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Harvard memperkirakan bahwa pil molnupiravir dapat berharga sekitar 20 dollar AS (sekitar Rp 282.500) jika diproduksi oleh perusahaan pembuat obat generik. Ada potensi harga turun menjadi 7,7 dollar AS (sekitar Rp 108.000) ketika produksi digenjot secara optimal.
Tersedia kuartal pertama 2022
Dokumen ACT-A mengatakan, target program WHO ini adalah mencapai kesepakatan pada akhir November untuk mengamankan pasokan ”obat oral bagi pasien rawat jalan”. Obat jenis ini ditargetkan tersedia mulai kuartal pertama tahun 2022.
Uang yang terkumpul pada awalnya akan digunakan untuk ”mendukung pengadaan hingga 28 juta siklus pengobatan bagi pasien bergejala ringan atau sedang dengan risiko tertinggi selama 12 bulan ke depan. Hal itu tergantung pada ketersediaan produk, panduan klinis, dan volume yang berubah seiring dengan evolusi kebutuhan,” kata draf dokumen program WHO itu. Volume tersebut ini akan diikat dengan perjanjian pembelian di depan.
Jumlah tambahan pil antivirus untuk mengobati pasien gejala ringan itu juga diharapkan akan diperoleh pada tahap-tahap selanjutnya.
Tanpa menyebutkan nama obat, dokumen WHO juga mengatakan, sebanyak 4,3 juta paket pil Covid-19 yang digunakan kembali untuk mengobati pasien kritis diharapkan dibeli dengan harga 28 dollar AS (sekitar Rp 395.000) per siklus pengobatan.
Program ACT-A juga menargetkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen medis esensial bagi 6 juta hingga 8 juta pasien dengan kondisi parah dan kritis pada September 2022.
Investasi besar untuk tes
Selain itu, program ACT-A juga berencana untuk berinvestasi secara besar-besaran dalam diagnostik Covid-19. Jumlah tes yang dilakukan di negara-negara miskin—yang didefinisikan sebagai negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah—diharapkan dapat ditingkatkan.
Dokumen WHO mengungkapkan bahwa dari dana 22,8 miliar dollar AS, yang ingin digalang melalui program ACT-A dalam 12 bulan ke depan, sepertiganya akan dialokasikan untuk langkah-langkah diagnostik. Hal ini untuk mengatasi rendahnya pengujian atau tes Covid-19 di negara-negara miskin.
Pada saat ini negara-negara miskin melakukan rata-rata sekitar 50 tes—jauh di bawah pengujian di negara-negara kaya yang mampu mengadakan 750 tes—per 100.000 orang setiap harinya. Tampak sekali ada kesenjangan besar di antara negara kaya dan miskin.
ACT-A ingin mendorong tingkat pengujian ini ke batas minimal 100 pengujian per 100.000 orang di negara-negara miskin. Hal itu bisa diwujudkan dengan menyediakan sekitar 1 miliar pengujian atau tes dalam 12 bulan ke depan. Angka tersebut sekitar 10 kali lebih banyak dari jumlah yang mampu dicapai ACT-A sejauh ini.
Bagian terbesar dari diagnostik akan berupa tes antigen cepat dengan harga sekitar 3 dollar AS (sekitar Rp 42.000). Hanya 15 persen dari dana untuk langkah diagnostik itu akan dialokasikan untuk tes molekuler atau tes untuk deteksi Covid-19 yang lebih akurat. Tes ini membutuhkan lebih banyak waktu untuk mendapatkan hasilnya. Biayanya diperkirakan sekitar 17 dollar AS (sekitar Rp 240.000), termasuk pengiriman biaya.
Dorongan pada pengadaan alat tes ini dimaksudkan untuk mempersempit kesenjangan antara negara kaya dengan negara miskin. Sebab, hanya 0,4 persen tes yang telah dilakukan di negara-negara miskin, dari sekitar 3 miliar tes yang dilaporkan di seluruh dunia.
Langkah tersebut juga akan membantu petugas menemukan kemungkinan munculnya varian baru yang cenderung berkembang biak saat infeksi meluas. Kemungkinan varian ini berpotensi besar terjadi di negara-negara dengan tingkat vaksinasi yang lebih rendah.
Dokumen WHO itu pun menekankan bahwa ”akses vaksin saat ini sangat tidak adil, dengan cakupan berkisar dari 1 persen hingga lebih dari 70 persen, sangat bergantung pada kekayaan suatu negara”. Program WHO ini bertujuan melaksanakan vaksinasi bagi setidaknya 70 persen dari populasi yang memenuhi syarat di semua negara pada pertengahan tahun depan. (REUTERS)